Pupuh dan kekawin selalu menyertai pelaksanaan upacara adat/agama di bali dan beberapa tempat di tanah jawa. Upacara tanpa pupuh dan wirama ibarat sayur tanpa garam. Pupuh atau kidung digolongkan kedalam sekar alit sedangkan wirama atau kekawin ke dalam sekar agung / tembang gede.
Wirama Mandamalaon sering disebut juga dengan 'Rajani'. Irama di atas adalah sebagai perkenalan, tidak sepenuhnya mengikuti standar yang di atur dengan ghuru (berat - panjang) dan laghu (ringan - pendek) suku katanya. Pembacaan wirama atau kekawin ada pakemnya, yaitu harus mengikuti ghuru dan laghu yang telah ditentukan dalam wirama yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, pembacaan wirama ini sering dimodifikasi dan disesuaikan dengan kemapuan pembaca atau pelantunnya, dengan menggantikan letak ghuru dan laghu dari kekawin tersebut. Carilah ahlinya apabila anda ingin mempelajari kekawin dengan serius.
Anda bisa mencoba syair lainnya yang dikutip dari Kekawin Arjuna Wiwaha, berikut ini:
Wuwisira sang hyang iswara, mijil tangapuy ri tangan
wawang asarira katara, manginditaken warayang
tinarima sang dhananjaya, tikang sara suksma tika
nganala sarira, satmaka lawan warayang wekasan
mare melajah, nunas saranipun
ReplyDelete