Lokasi
Pura Agung Gunung Raung yang keasriannya dapat dipelihara dengan baik
terletak di Desa Taro Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar,
diantara banjar Taro Kaja dan banjar Taro Kelod. Pura ini sekaligus
menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut.
Juga berada di antara dua aliran sungai Wos, yang disebut sebagai Sungai
Wos Lanang/ Wos Kangin disebelah timur dan wos wadon/Wos Kauh
disebelah barat.
Pada wraspati pasah wuku Kuningan tanggal 29 Mei 2014, saya berkesempatan dalam rombongan Sekehe Mandiri Singaraja yang melaksanakan tirtayatra
ke beberapa pura di daerah Tegalalang, Gianyar. Rombongan yang cukup
besar itu didalamnya antara keluarga bapak Nengah Sumardika, Nengah
Sukarta, Bawati Rai, Gede Wisnaya Wisna, dan lainnya, yang sebagian
besar adalah warga bugbug yang berdomisili di Singaraja. Rombongan tiba
di Pelataran Pura Agung Gunung Raung sekitar jam 14.00 wita.
Pura Gunung Raung dikatakan mempunyai peranan penting dalam sejarah
manusia Bali. Pura yang dilihat dari struktur bangunannya sangat berbeda
dengan kebanyakan pura yang ada di Bali, menandakan bahwa di kala itu,
Pura Gunung Raung dapat dikatakan sebagai salah satu pura yang merupakan
pusatnya para yogi. Di tempat inilah, pijakan tentang nilai-nilai
kebijaksanaan dicetuskan oleh Ida Maha Yogi Rsi Markandheya, bersama
para pengikutnya dalam membangun tatanan kehidupan baru.
Sekilas Sejarah
Rsi Markandheya yang berasrama di Damalung, Jawa Timur mengadakan
tirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang
(Dieng). Sejauh perjalanan suci beliau tidak menemukan tempat ideal
untuk membangun pasraman. Rsi Markandheya kemudian melanjutkan
perjalanan ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di
tempat ini beliau membangun pasraman dan melakukan pertapaan.
Dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan perjalanan
ke arah timur lagi yakni Pulau Bali. Setibanya di lereng Gunung Agung
beliau dengan sekitar delapan ribu pengikutnya membangun pasraman dengan
membabat hutan Dalam membabat hutan, sebagian pengikut beliau terkena
wabah penyakit hingga diantaranya meninggal dunia.
Melihat keadaan itu, Rsi Markandheya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan dalam wujud Sang Hyang Pasupati kemudian
hadir dan memberitahukan Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak
melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin merambah
hutan. Rsi Markandheya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung
Agung. Saat itu, beliau diringi oleh para pengikut yang disebut Wong
Age.
Setiba di Gunung Agung, Rsi Markandheya mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu
yaitu lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) yang
merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Di tempat pelaksanaan
ritual dan pemendaman panca datu tersebut kemudian didirikan pura
yang dinamakan Pura Basukian/Besakih.
Setelah memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah beliau
kembali memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian hingga
ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana
beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para
pengikutnya. Beliau menerima wahyu agar membangun tempat suci di sebelah
barat yang kemudian tempat itu diberi nama serupa dengan pasramannya di
Gunung Raung, Jawa Timur yaitu Pasraman Gunung Raung, yang menjadi
tonggak pendirian Pura ini.
Keunikan
Pura Agung Gunung Raung memiliki empat gapura atau pemedal yang disebut Mapemedal Nyatur. Pemedal sisi barat merupakan jalan masuk pemargin Ida Betara Sesuhunan Gunung Raung di Jawa Timur. Pemedal sisi selatan dan utara sebagai jalan masuk para pengunjung yang akan bersembahyang pemedek ke Pura Gunung Raung. Di depan masing-masing pemedal tersebut terdapat Titi Gonggang,
yang dipercayai masyarakat sebagai menyaring secara niskala umat yang
memiliki keinginan yang kurang baik. Energi negatif tersebut akan hilang
apabila melintasi pemedal Titi Gonggang.
Pemedal sisi timur merupakan Pemedal Agung. Pemedal ini sangat
disucikan, karena merupakan pemargin Ida Sesuhunan Gunung Raung.Disamping itu persembahyangan di Pura ini menghadap ke arah barat.
Keunikan lai di Pura Gunung Raung, secara turun temurun masyarakat
setempat tidak berani menggunakan perhiasan emas melewati pemedal ini.
Wanita hamil dan menyusui tidak diperkenankan.
Piodalan
Di Pura Agung Gunung Raung terdapat beberapa pelinggih antara lain
pelinggih Batara Agung Gunung Raung, Batara Maspait, Batara Ulun
Masceti, Padmasana, Batara Rambut Sedana, Penyawangan Batara Brahma,
Batara Yogi Rsi Markandheya, Batara Bayu, dan Penyawangan Gunung
Watukaru.
Upacara Pujawali atau Piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari yaitu pada Buda Kliwon Ugu
berdasarkan penanggalan Bali. Namun pada masing-masing pelinggih di
lingkungan pura dilaksanakan pula piodalan pada hari-hari yang
ditentukan seperti:
1 Tumpek Landep di Pura Dalem Pingit.
2 Redite Ukir di Pelinggih Batara Batu Madeg.
3 Anggara Kasih Kulantir di Pura Sanghyang Tegal.
4 Redite Umanis Tolu di Pelinggih Begawan Penyarikan.
5 Sukra Umanis Tolu di Pelinggih Bale Agung.
6 Wrespati Wariga di Pelinggih Ratu Gede Ratu Anom.
8 Buda Umanis Julungwangi di Pelinggih Uluning Masceti.
9 Anggara Kasih Julungwangi di Pelinggih Dalem Waturenggong.
10 Wrespati Wage Sungsang di Pelinggih Maspait.
11 Soma Kliwon Kuningan di Pura Agung.
12 Bude Kliwon Pahang di Pelinggih Ratu Pasek.
13 Tumpek Krulut di Pelinggih Ratu Ngerurah.
14 Redite Umanis Merakih di Pelinggih ring Catuspata.
15 Anggara Kasih Tambir di Pelinggih ring Sanghyang Alang.
16 Tumpek Uye di Pelinggih ring Sanghyang Tegal.
17 Anggara Kasih Prangbakat Pelinggih ring Pura Dalem Simpangan.
18 Buda Umanis Prangbakat Pelinggih Yogi Resi Markandia.
19 Buda Kliwon Ugu di Semua Pelinggih Pura Agung Gunung Raung.
20 Buda Wage Kelawu di Pelinggih Rambut Sedana & Melanting.
21 Sukra Umanis Kelawu di Pengayengan Batari Seri.
22 Purnama Kasa di Pura Dalem Pingit & Jaba Tengah.
No comments:
Post a Comment